Analisis Isi Kepatuhan terhadap Standar Jurnalistik dan Kode Etik Jurnalitik
Periode 1 – 31 Juli 2011
Oleh : Pemilianna Pardede, J Anto, Dian, Mian Gultom dan S Daulay
Posisi Headline atau Berita Utama Surat kabar
Tarik menarik kepentingan itulah yang kerap membuat pengelola media kerap mengalami pergulatan-pergulatan etik di ruang redaksi. Pergulatan etik terjadi karena hampir tiap hari ada ratusan peristiwa yang terjadi, dan media karena keterbatasan ruang dan waktu, harus melakukan seleksi.
Terlebih ketika pengelola news room melakukan seleksi peristiwa untuk dijadikan berita utama atau headline. Headline adalah kanal wajib pada setiap media massa.[1] Siaran berita di televisi, setelah menampilkan grafik pembuka (Opening Billboard — OBB), pasti akan menampilkan beberapa berita bersifat aktual dan faktual pada headline-nya. Lain lagi media cetak, baik tabloid, koran, maupun majalah, pada halaman utama atau cover pasti menampilkan headline. Headline adalah sajian yang mampu membuat orang penasaran akan suatu pemberitaan dan produk pemberitaan itu sendiri, disamping sebagai tolak ukur penting atau tidaknya suatu peristiwa untuk disiarkan secara umum.
Dalam teori jurnalistik, headline sebuah surat kabar merupakan etalase yang merepresentasikan isu penting yang diliput dan diberitakan pada edisi bersangkutan. Oleh karena itu setiap pengelola news room surat kabar akan melakukan seleksi ketat agar berita yang ditempatkan sebagi berita utama benar-benar memiliki bobot dan kualitas jurnalistik yang standar.
Kualitas jurnalistik di sini berhubungangan kepatuhan pengelola news room untuk menerapkan standar jurnalistik dan patuh terhadap Kode Etik Jurnalistik.
Karenanya berita utama atau headline dapat dijadikan referensi atau gambaran untuk menilai profesionalitas isi dari sebuah surat kabar. Masalahnya, bagaimana profesionalime berita-berita utama pada surat kabar yang terbit di Medan dan Aceh? Apakah mereka sudah menerapkan standar jurnalistik dan juga mematuhi kode etik jurnalistik?
Standar jurnalistik yang dimaksud adalah penerapan metode kerja pers ketika merekonstruksi fakta atau peristiwa. Dalam jurnalisme, metode kerja jurnalistik disebut juga objektivitas. Konsep objektivitas dalam jurnalisme sudah berkembang hampir satu abad lalu, sebagai reaksi terhadap pelaporan yang sensasional dan didorong oleh opini yang merupakan hal biasa padsa banyak surat kabar. Istilah objektivitas awalnya dipaksa untuk menggambarkan sebuah pendekatan atau metode jurnalistik: wartawan akan berusaha menyampaikan berita dengan cara yang obyektif, tanpa mencerminkan bias pribadi maupun kelompok.[2]
Dengan demikian objektivitas pemberitaan di sini dipahami sebagai metode kerja yang dipakai wartawan untuk menghadirkan gambaran dunia yang sedapat mungkin jujur dan cermat dalam batas-batas praktik jurnalistik. Sebagai alat atau metode kerja, objektivitas pemberitaan akan “memagar” hasil liputan wartawan agar tidak menjadi informasi propaganda bagi kepentingan tertentu
Prinsip objektivitas pemberitaan yang penting adalah terpenuhinya mekanisme cover both sides atau liputan dua sisi dan pemisahan yang tegas antara fakta dan opini wartawan. Prinsip cover both sides memberikan kesempatan dan ruang yang sama bagi para narasumber berita untuk mengemukakan versi peristiwa atau pendapat mereka.
Dengan mengakomodir cover both sides, publik tidak dipaksa untuk menerima versi informasi tunggal salah seorang narasumber. Sedangkan pemisahan tegas antara fakta dan opini wartawan, lebih untuk menghindarkan pada proses penggiringan publik untuk memihak salah satu pihak yang bertikai. Kalaupun ada penilaian publik yang berujung pada pemihakan salah satu narasumber, lebih sebagai hasil kontemplasi publik terhadap penyajian pluralitas fakta media.
Sedangkan, Kode Etik Jurnalistik di sini yang dimaksud adalah KEJ yang ditetapkan Dewan Pers 24 Maret 2006.[3] Sebagaimana diketahui KEJ merupakan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme.
Kebebasan pers yang dimiliki jurnalis memang dapat menyeret jurnalis ke dalam tindakan penyalahgunaan kebebasan yanmg ada. Untuk membatasi kemungkinan tersebut, jurnalis dalam menjalankan tugas jurnalistiknya diikat oleh nilai-nilai moral yang disebut kode etik jurnalistik (code of ethics), yang dibedakan dengan kode perilaku (code of conduct). Kode etik dan kode perilaku sebenarnya seperti dua sisi coin yang tidak dapat dipisahkan. Secara sederhana kaidah etis bersifat normatif dan universal sebagai kewajiban moral yang harus dijalankan oleh institusi pers. Nilai dari kode etik bertumpu pada rasa malu dan bersalah (shamefully and guilty feeling) dari hati nurani. Sedangkan kode perilaku bersifat praksis dan spesifik bagi jurnalis dalam lingkup institusi persnya. Kode perilaku berfungsi sebagai dasar dalam menajamen organisasi media dalam penilaian dan keputusan atas karir profesional seorang jurnalis.
[1] Lihat misalnya pendirian situs Kompasiana, sebuah Media Warga (Citizen Media) yang dikelola harian Kompas online. Pihak pengelola situs mensyaratkan berita atau tulisan dari masyarakat yang layak sebagai Headline apabila isinya aktual dan ditulis secara mendalam. Selain itu, tulisan juga harus ang unik dan menarik dan orisinal, artinya tulisan itu hanya ditulis dan ditayangkan di Kompasiana, bukan diambil dari karya penulis di media (blog, koran, majalah) lain.
[2] Deborah Potter, Buku Pegangan Jurnalisme Independen, Biro Program Informasi
Internasional, Departemen Luar Negri AS, 2006.
[3] Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik dalam Profil Dewan Pers 2007-2010, Penerbit Dewan Pers, Jakarta 200.