Home

Ringkasan Eksekutif Penelitian Dua suratkabar di Medan, Sinar Indonesia Baru dan Waspada, saling berhadap-hadapan dalam pemberitaan tentang masalah pembentukan Propinsi Tapanuli (Protap) dalam beberapa waktu belakangan ini. Insiden mengenaskan yang menewaskan Ketua DPRD Sumatera Utara, Abdul Azis Angkat, membalik posisi peperangan antar media tersebut. SIB yang tadinya bersemangat untuk mempromosikan berdirinya Protap, berbalik defensif membela posisinya. Waspada yang sejak awal menunjukkan penolakan atas ide Protap, makin menggebu ketika melihat ada korban yang jatuh dari massa pendukung Protap. Kasus ini menjadi suatu cermin bagaimana wajah dua suratkabar yang mengambil posisi berseberangan, dan kedua media sama-sama menunjukkan bahwa mereka abai atas praktek yang harusnya dilakukan wartawan sesuai Kode Etik, dengan menghargai prinsip independensi media, keakuratan, keberimbangan dan peliputan dari kedua belah sisi. Kasus ini menjadi pelajaran berharga buat banyak media di Indonesia yang tengah menghadapi situasi pemilihan umum nasional 2009 dan pemilihan kepala daerah langsung di berbagai wilayah.

 

Analisis Isi

Kecenderungan Pemberitaan

Isu Pembentukan Provinsi Tapanuli

Pada Surat Kabar Sinar Indonesia Baru dan Waspada

Periode 28 Januari – 10 Februari 2009

Disiapkan oleh

J. Anto, Pemiliana Pardede, Truly O Purba, Ignatius Haryanto & Trinanti Sulamit

(kerjasama KIPPAS, Medan dan LSPP, Jakarta)

Latar Belakang

Pembuatan Analisis Isi Media Di balik peristiwa mengenaskan demonstrasi yang berbuah pada pengeroyokan ketua DPRD Sumatera Utara di Medan, Sumatera Utara, 3 Februari 2009 lalu, kami para peneliti menilai bahwa ada usaha yang dilakukan oleh sejumlah pihak untuk mempergunakan media massa sebagai alat propaganda untuk menunjukkan kepentingan ekonomi dan politik dari masing-masing pihak yang bertikai. Kelompok yang bertikai di sini adalah kelompok yang mendukung adanya Propinsi Tapanuli (Protap) dengan mereka yang menolak pembentukan Protap.

Dipergunakannya media massa sebagai alat kepentingan ekonomi dan politik suatu golongan telah jelas menunjukkan adanya pelanggaran serius dari Kode Etik Jurnalistik (disahkan Dewan Pers pada tahun 2006) pasal 1 yang menyebutkan bahwa “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk” dan penafsiran pada pasal itu menyebutkan:

a. “a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.

c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.

d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.”

Sementara itu pada pasal 3 Kode Etik yang sama menyebutkan tentang “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.” Dimana penafsiran atas pasal itu menyebutkan bahwa:

a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.

b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.

c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.

d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.”

Analisis isi ini dibuat untuk menunjukkan keprihatinan kami para peneliti media bahwa ada kecenderungan pihak pengelola media pers dengan semena-mena menggunakan suratkabarnya untuk membela kepentingan pemilik media dengan mengabaikan kepentingan masyarakat atau public dalam mendapatkan informasi yang benar. Seringkali media menunjukkan sikap yang membela terhadap suatu pandangan, atau kepentingan ekonomi dan politik tertentu, dengan mengorbankan para pembacanya. Kecenderungan ini makin lama makin menjadi, apalagi ketika media pers kini banyak yang tampil sebagai bagian dari konglomerasi media (baik dalam arti jurnalis yang kemudian berubah menjadi konglomerat, ataupun dalam arti konglomerat bisnis yang masuk ke dalam bisnis media pers).

Analisis isi ini dibuat untuk mengingatkan kepada banyak media pers bahwa amanat pertama yang harus diemban oleh media pers adalah kepada public, bukan kepada pemilik medianya, ataupun kelompok tertentu dalam masyarakat. Dalam konteks di mana Indonesia, kini tengah menghadapi situasi Pemilihan Umum tahun 2009, para peneliti khawatir jika gejala menggunakan media pers untuk kepentingan ekonomi dan politik para kontestan politik akan membuat masyarakat mendapatkan informasi separuh dari yang seharusnya mereka dapatkan.

Analisis ini juga hendak mengingatkan bahwa media pers perlu tetap memegang prinsip jurnalisme damai, dimana media harusnya bukan menjadi pemicu terjadinya konflik kekerasan, malah justru media harus mengangkat permasalahan yang ada dalam masyarakat untuk menghindari penggunaannya konflik kekerasan. Konflik tak dapat dihindari dari masyarakat, namun media berperan besar untuk mengelola konflik menjadi sesuatu yang bisa dirundingkan, dinegosiasikan, dan mendengar semua pihak yang terlibat dalam konflik.

Analisis ini hendak menekankan bahwa sikap independent media adalah suatu nilai keutamaan (virtue) yang harus terus menerus dijaga untuk meraih kredibilitas di mata public. Sekali public merasa bahwa sebuah media tidak lagi independent, maka ia akan ditinggalkan oleh public yang hendak mendapatkan informasi yang imparsial dan berimbang. Dan peringatan seperti ini juga ditujukan kepada berbagai media pers di berbagai tempat di Indonesia.

Masukan ini kami sengaja tujukan kepada lembaga Dewan Pers yang kami percaya menjadi suatu institusi yang telah diamanatkan oleh Undang-undang Pers no. 40/1999 (pasal 15) untuk melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain (huruf a); melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers (b); menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik (c); memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers (d).

Masukan ini diharapkan bisa dipergunakan oleh Dewan Pers untuk memberikan pandangan atau pendapat atas pemberitaan yang melatari terjadinya peristiwa mengenaskan tersebut.

Latar Belakang Kasus

Pro-kontra pembentukan Provinsi Tapanuli (selanjutnya ditulis sebagai ‘Protap’) akhirnya menyisakan sejarah buram dan duka mendalam bagi masyarakat Sumatera Utara. Tekanan demonstrasi massa pendukung pembentukan Protap yang mendesak DPRD Sumut (Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara) untuk menggelar Sidang Paripurna pada 3 Februari 2009 lalu, mengakibatkan meninggalnya ketua DPRD Sumut, H. Abdul Azis Angkat.

Pembentukan Prtotap yang sudah 7 tahun diusulkan ke DPRD Sumut, memang belum ada realisasinya. Hasil Pansus Protap yang telah selesai bekerja 2 tahun lalu tak kunjung diparipurnakan. Alasan penundaan paripurna menurut Hasbullah Hadi, Wakil Ketua Dewan, karena DPRD Sumut dikhawatirkan akan berhadapan dengan persoalan hukum jika memaksakan diri melanjutkan proses berkas yang tidak sesuai dengan peraturan, menyusul gagalnya Panmus DPRD Sumut menetapkan jadwal paripurna dewan membahas usulan panitia Protap. Selain karena syarat teknis, pembentukan Protap juga dinilai bertentangan dengan PP.No.78 tahun 2007 karena cakupan wilayah sudah kurang dari 5 kabupaten, menyusul keluarnya Kabupaten Tapanuli Tengah, Sibolga dan Nias.

Gagasan pemekaran Provinsi Sumatera Utara menjadi beberapa provinsi sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1957. Ketika itu pada September 1957, Ketua Seksi B DPRD Tingkat I Sumatera Utara, A.N.P Situmorang menganggas pemekaran Sumut menjadi tiga (3) provinsi dengan pembagian sebagai berikut: Provinsi untuk Tapanuli Selatan, Labuhan Batu, dan Asahan dengan ibu kota di Asahan Nias, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Simalungun dengan kedudukan di Ibu Kota Sibolga atau Pematangsiantar; Karo, Deli Serdang, Langkat, dan Medan menjadi satu provinsi dengan Ibu kota di Medan.

Pada tahun 2000, seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, gagasan untuk menghidupkan kembali pendirian Protap kembali mencuat. Penggagasanya antara lain Jendral (Purn) Luhut Binsar Panjaitan (Penasehat), Ir. G.M. Chandra Panggabean (Ketua), Budiman Nadapdap (Wakil Ketua), dan Hasudungan Butar-Butar (Sekretaris). Deklarasi keinginan Pembentukan Protap pada Kongres Masyarakat Tapanuli pada tanggal 6 April 2002 yang lalu di Kota Tarutung, pada awalnya kental dengan semangat kebersamaan. Masyarakat di Kabupaten/Kota wilayah cakupan Protap diajak untuk bersama-sama menyuarakan dukungan. Hasilnya, cukup menggembirakan. Dukungan bermunculan dimana-mana.

Pada Pemilu 2004, isu pembentukan protap dijadikan salah satu janji kampanye Partai Golkar. Hal itu misalnya dapat dilihat dari pemberitaan Sinar Indonesia Baru, edisi 15 Maret 2004. Salah satu juru kampanye Partai Golkar waktu itu, Abdul Wahab Dalimunthe, mengatakan jika Partai Golkar menang dalam Pemilu, maka Protap akan terwujud, dan tidak ada lagi “pantai barat” dan “pantai timur”. Dalam pemberitaan itu, Abdul Wahab Dalimunthe juga berjanji akan me-recall anggota DPR dari Partai Golkar jika tidak mendukung pembentukan Protap.

Pada tanggal 17 Maret 2004, SIB menurunkan berita himbauan dua orang anggota DPRD Sumut dan aktivis LSM agar tidak memilih caleg dan parpol yang tidak mendukung pembentukan Protap.

Pada 12 Januari 2007, Panitia Pembentukan Protap menggelar pertemuan akbar yang dihadiri ribuan orang mewakili 10 kabupaten/kota yang akan bergabung, yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Samosir, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Sibolga, Kabupaten Dairi, Kabupaten Nias, Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Kabupaten Pakpak Bharat.

Pada 2007, massa Protap melakukan demonstrasi untuk menekan Ketua DPRD Sumut, Abdul Wahab Dalimunthe, untuk meneken reomendasi pembentukan Protap. Dalam perjalanannya, sebanyak tiga kabupaten, yaitu Nias, Sibolga, dan Tapanuli Tengah menarik dukungannya dari pembentukan Protap.

Berbagai dinamika peristiwa yang mengirngi proses pembentukan Protap, tidak lepas dari pemberitaan media cetak di Sumatera Utara. Terlebih media cetak yang terbit di Medan, yang menjadi pusat pergerakan politik.

Isu pembentukan Protap merupakan isu yang cukup seksi di kalangan media cetak Sumatera Utara terbitan Medan terutama untuk Harian Sinar Indonesia Baru (SIB). SIB tentu sangat berkepentingan dengan isu ini karena Ketua Panitia Pembentukan Protap adalah Ir. GM Chandra Panggabean yang merupakan Wakil Pemimpin Umum II/Ketua Dewan Redaksi Harian SIB. Selain itu, mayoritas segmen pembaca SIB adalah masyarakat etnis Tapanuli (Batak Toba) yang umumnya berdiam di daerah-daerah yang menjadi calon Protap (Toba Samosir, Samosir, Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan).

Namun tidak hanya SIB, harian lain, Waspada juga menjadikan isu pembentukan Protap sebagai salah satu isu yang cukup seksi. Hanya saja, jika SIB mengarahkan pemberitaan yang mendukung tentang Protap, beda halnya dengan Waspada. Surat kabar ini cenderung mengarahkan pemberitaannya terhadap penolakan pembentukan Protap. (BERSAMBUNG)

11 thoughts on “PERANG PROTAP DI SINAR INDONESIA BARU DAN WASPADA

  1. Semua stockholder yang terlibat masalah ini banyak yang hilang kecerdasannya (terutama anggota dewan DPRD Sumut), maksudnya kalau kita flashback sejarah bahwa “dulu itu sudah ada Keresidenan Tapanuli yang berkrdudukan di Sibolga”, maksudnya Protap disini hanya “mengembalikannya saja” tapi dasar anggota dewan yang hilang kecerdasannya itulah yang buat masalah dan inilah “Inti masalah itu”, mohon dikoreksi bila pendapat ini agak keras.

  2. makanya hai kawan kawan yang berdomisili di wilayah keresidenan Tapanuli memilih penyambung lidah kok salah, tahu kan siapa yang menyatakan bahwa PEMEKARAN WILAYAH DI TUNDA alis tidak dilayani, padahal PROTAP SUDAH DI DEPAN MATA kok tiba2 ada kalimat seperti itu, pada hal kita tau pemilu kemari mereka yang berkuasa di kampung kita.

  3. Dulu sdh jelas ada Keresidenan Tapanuli. Secara geografi Ex Keresidenan Sumatera Timur dan Ex Keresidenan Tapanuli konturnya sangat berbeda sehingga metode pembangunan keduanya pun harus berbeda pula. Setahu saya Barus itu kota tertua di Sumut, karena dulu salah satu soal ujian akhir SD saya, berarti orang dulu lebih tegas memutuskan. Kalau tdk salah, lebih dulu didengungkan membentuk Protap drpd Banten, Babel dll, namun Protap hanya wacana terus. Saya pensiunan BUMN, lahir sampai tamat SMA di Sbg, ibu-bapa saya dari Bakara, berharap Protap dapat terwujud agar bisa setara pembangunannya dengan propinsi tetangganya seperti Sumbar. Ada apa dengan Orang Batak? Bagai ungkapan yg tak pantas didengar : “Ndang di ho ndang di au, tumagon ma tu begu”. Akibatnya betul membawa korban. Semoga semua orang yang mengaku orang Tapanuli bersatu dan berdamai dalam mewujudkan Protap ini. Syalom.

Leave a reply to Hartono Panggabean Cancel reply