Home

Yasraf A. Piliang

Kekerasan terhadap perempuan—dengan mengacu pada pengertiannya yang paling luas—pada kenyataannya tidak hanya berlangsung pada tingkat ‘realitas’ (berupa pemukulan, perkosaan atau pelecehan) akan tetapi juga pada tingkat ‘representasi’ dari realitas tersebut di dalam berbagai media representasi. Artinya, bagaimana bentuk dan cara sebuah ‘realitas kekerasan’ direpresentasikan di dalam berbagai media representasi telah merupakan sebuah bentuk ‘kekerasan’ itu sendiri.
Relasi antara representasi (pemberitaan tentang perempuan) dan apa yang direpresentasikan (realitas perempuan) menciptakan sebuah problematika yang menyangkut ‘obyektivitas pengetahuan’, yaitu problem apakah yang direpresentasikan tersebut bersifat obyektif atau ‘ideologis’ (dimuati dengan prasangka, bias atau subyektivitas tertentu). Dalam relasi ideologis yang demikian, perbincangan mengenai kekerasan terhadap perempuan di dalam representasinya di berbagai media diperbincangkan di dalam sebuah bingkai ‘politik representasi’ (politics of representation), atau dalam konteks semiotika media disebut ‘politik signifikasi’ (politics of signification).
Representasi tentang perempuan—khususnya representasi tentang kekerasan terhadap perempuan—diproduksi dan disampaikan di dalam berbagai ‘citraan’ (images). Dalam konteks politik representasi, sebuah citraan tentang perempuan tidak dapat lagi diperlalukan sebagai sebuah refleksi abstrak dari perempuan yang sesungguhnya (mirror image). Ada berbagai distorsi atau bias-bias pada cermin, yang menyebabkan perbincangan mengenai citraan perempuan di dalam media disarati oleh konstrain ideologis, dan sekaligus memperlihatkan betapa pentingnya proses konstruksi dan produksi tanda dan maknanya dilihat dalam relasi sosial yang lebih luas, khususnya apa yang disebut ‘relasi gender’.
Perbincangan mengenai ‘kekerasan terhadap perempuan dalam pemberitaan media pers’, dengan demikian adalah perbincangan mengenai kekerasan pada tingkat ‘citraan’ (image) atau pada tingkat ‘ilmu pencitraan’ (imagology). Imagologi, dalam hal ini, tidak hanya memperbincangkan bagaimana citra dan makna diproduksi secara teknis dan estetis, akan tetapi juga dmengungkapkan muatan-muatan politis, sosial maupun ideologis yang ada di baliknya. Produksi sosial makna berlangsung melalui sarana teknis media, kode dan konvensi yang digunakan, yang di dalam kerangka semiotika media dikenal sebagai ‘retorika pencitraan’ (rethoric of the image). Lewat retorika, sebuah citra dimuati dengan muatan-muatan ideologi, stereotip, mitos atau gagasan tentang keyakinan tertentu.
Makna (meaning) di balik sebuah citraan akan sangat bergantung pada hubungan antara citraan dan komponen-komponen tandanya (signs) dengan lingkungan kultural, keyakinan sosial atau ideologi yang membentuknya; antara apa yang dimasukkan, ditekankan, diekspose, dikodifikasi di dalam sebuah relasi citraan (reification) dan apa yang dibuang, disortir disembunyikan atau disensor (repression). Pemahaman terhadap citraan, dengan demikian, akan sangat bergantung pada pengetahuan sosial, asumsi dan nilai-nilai yang ada di balik citraan, serta bagaimana citraan tersebut dikonstruksi secara sosial.

Imagologi dan Ideologisasi Media

Sebagai sebuah terminologi filosofis, istilah ‘citraan’ (image) mempunyai pengertian yang sangat luas, yang mencakup aspek fisik ‘tampilan’ (appearance), ide, gagasan atau ‘konsep mental’ (mental image) di balik tampilan terebut. Dalam konteks media pemberitaan—seperti surat kabar—citraan dapat diartikan sebagai ‘keseluruhan tampilan’, yang mencakup tulisan, teks, gambar dan ilustrasi.
Roland Barthes, seorang ahli semiotika Perancis, mengatakan di dalam Image:Music:Text, bahwa di dalam media komunikasi massa—seperti surat kabar atau majalah—tulisan dan gambar saling mendukung dalam menciptakan apa yang disebut ‘tanda bahasa’ (linguistic sign) dan ‘tanda visual’ (visual atau iconic sign). Di dalam kedua tingkat tanda tersebut beroperasi pesan dan makna yang berlapis-lapis. Pertama, yang disebut ‘makna denotasi’ (denotative meaning), yaitu makna langsung, eksplisit atau tersurat pada teks atau gambar. Kedua, adalah ‘makna konotatif’ (connotative meaning), yaitu makna implisit, tersirat, dan tidak langsung, khususnya makna-makna yang tercipta ketika sebuah citraan dikaitkan dengan konsep-konsep yang berasal dari ideologi dan mitos. Kata ‘digarap’ dalam konteks perkosaan, misalnya, pada tingkat denotasi (dan metafora) bisa ‘hanya’ bermakna seorang laki-laki ‘menyetubuhi’ seorang perempuan. Akan tetapi, pada tingkat konotasi, ia dapat bermakna sebagai ‘kekuasaan’ atau ‘dominasi’ laki-laki terhadap perempuan di dalam masyarakat patriarki, dengan mengumpamakan perempuan sebagai benda garapan, seperti sawah. Ia bisa juga menaturalisasikan mitos ‘pasifitas’ perempuan.
Ada banyak prinsip bagaimana ideologi beroperasi dalam produksi makna—termasuk makna dalam media. Di antara prinsip tersebut adalah apa yang disebut sebagai prinsip ‘oposisi biner’ (binary opposition), yaitu semacam prinsip polarisasi segala sesuatu (tanda, kode, makna, stereotip, identitas) yang di dalamnya terjadi proses generasilasi dan reduksionisme, sedemikian rupa sehingga segala sesuatu dikategorikan ke dalam dua kelompok yang ekstrim, saling bertentangan dan kontradiktif. Prinsip oposisi biner menciptakan polarisasi, misalnya, antara konsep Barat/Timur, feminin/maskulin, rasional/irasional, progresif/tradisional, dengan mengenyampingkan kategori-kategori lainnya (exclusion).
Dalam konteks media—khususnya pemberitaan mengenai perempuan di dalamnya—prinsip oposisi biner atau polarisasi makna ini mengambil berbagai bentuk, yang di dalamnya stereotip-stereotip mengenai ‘perempuan’ dan ‘laki-laki’ dibangun berlandaskan sebuah ideologi besar ‘Patriarki’. Ideologi Patriarki meredusir stereotip tersebut sebagai sebuah pertentangan sifat, alam (nature), hakikat, kodrat, citra, dan makna yang polaristik antara ‘laki-laki’ dan ‘perempuan’, yang di dalamnya laki-laki menempati posisi yang dominan, positif, menguntungkan dan perempuan dalam posisi subordinat, negatif dan merugikan. Polarisasi tersebut kemudian dipandang sebagai sesuatu yang alamiah atau common-sense, bukan ideologis. Stereotip mengenai konsep ‘laki-laki’ dan ‘perempuan’, misalnya diorganisir lewat prinsip oposisi biner berikut:

Perempuan : Laki-laki
pasif : aktif
lemah : kuat
ternoda : menodai
negatif : positif
dependen : independent
dikuasai : menguasai
irasional : rasional
emosional : akal sehat

Apa yang disebut sebagai ‘gender’, kemudian menjadi semacam konsep yang dibentuk berlandaskan pada ‘model kebudayaan patriarki. Dengan mengacu pada teori-teori yang dikemukakan oleh Althusser atau Gramsci tentang ideologi, dapat dilihat bahwa gender adalah sebuah konstrain ideologi yang diartikulasikan (dan dikonstruksi) lewat berbagai institusi sosial, termasuk media massa, yang oleh Althusser disebut sebagai Ideological State Apparatuses (ISA). Institusi, seperti media pers, mempunyai peran sebagai ‘aparatus ideologis negara’ ini, ketika ia menaturalisasikan relasi-relasi ideologis di dalam media sebagai sebuah common-sense, misalnya relasi ideologis mengenai gender sebagai relasi dominasi laki-laki atas perempuan.
Di dalam media—termasuk media pers—ideologi beroperasi pada tingkat bahasa, baik ‘bahasa tulisan’ maupun ‘bahasa visual’. Ideologi pada tingkat bahasa atau linguistik melibatkan 1) pilihan (choices) kata-kata, kosa-kata, sintaks, gramar, cara pengungkapan, pada tingkat paradigmatik (perbendaharaan bahasa), dan 2) tingkat seleksi (selection) yaitu penentuan kata atau bahasa berdasarkan pada berbagai pertimbangan ideologis. Mengapa, misalnya, memilih kata ‘ternoda’ (keperawanannya) untuk menjelaskan kondisi seorang perempuan korban perkosaan, bukan kata ‘teraniaya’ (kemanusiaannya).
Mengapa ‘keperawanan’ menjadi sebuah ukuran (buat laki-laki) dalam menilai harkat perempuan. Dalam hal ini, kata ‘ternoda’ dan ‘keperawanan’ sangat sarat dengan muatan ideologi ‘patriarki’.
Pada tingkat visual, ideologi beroperasi pada cara dan maksud (intention) sebuah gambar, foto, ilustrasi, skema atau representasi lainnya ditampilkan, yang di dalam terminologi semiotika penganut Marxisme disebut ‘ideologi visual’ (visual ideology). Nicos Hadjinicolaou, misalnya, di dalam Art History and Class Struggle, menjelaskan ‘ideologi visual’ sebagai “kombinasi khusus unsur-unsur formal dan tematis sebuah gambar, yang melaluinya orang mengekspresikan cara mereka mengkaitkan kehidupan mereka dengan kondisi eksistensi mereka, sebuah kombinasi yang membentuk sebuah bentuk khusus ideologi sebuah kelas”. Di dalam konsep ideologi visual, bagaimana sebuah gambar (foto, ilustrasi, skema)—khususnya pilihan gambarnya, cara pengaturan posisinya, sudut pengambilan fotonya, cara penempatan ilustrasinya, proses croppingnya, dapat dilihat sebagai sebuah bentuk khusus ideologi—ideologi visual. Dalam berbagai kasus ‘pembersihan’ tempat-tempat pelacuran, misalnya, mengapa gambar-gambar perempuan (disebut secara sosial dan ideologis sebagai ‘tuna susila’) yang selalu ditampilkan sebagai pelaku a-susila, bukan gambar laki-laki yang ‘berkunjung’ ke tempat-tempat tersebut.
Berdasarkan dua jenis ‘bahasa’ yang beroperasi pada media pemberitaan, yaitu ‘bahasa tulisan’ dan ‘bahasa visual’, maka dalam konteks kekerasan terhadap perempuan dalam pemberitaan media, sesungguhnya juga ada dua bentuk kekerasan yang terjadi di dalamnya, yaitu: 1) ‘kekerasan bahasa’ atau linguistik (language violence), yaitu bagaimana pilihan perbendaharaan kata, kalimat dan kosa-kata mengandung di dalamnya kekerasan dan pemaksaan (ideologis); dan 2) ‘kekerasan visual’ (visual violence), yaitu bagaimana gambar, foto, skema atau ilustrasi di dalam pemberitaan mengandung unsur dan motif-motif kekerasan yang serupa.

Kekerasan Simbolik Terhadap Perempuan

Di dalam Violence in Human Society, John Gunn, menjelaskan ‘kekerasan’ sebagai sebagai sebuah bentuk ‘perlakuan dengan cara pemaksaan’, yaitu bentuk-bentuk agresi yang destruktif, yang menimbulkan kerusakan pada pihak lain (destructive agression). Gunn, dalam hal ini, melihat kekerasan dan agresi sebagai sebuah fenomena ‘kekerasan fisik’, yaitu bentuk kekerasan yang ‘tampak’ (visible), yang bersifat ‘material’, yang meskipun demikian dapat menimbulkan kerusakan fisik dan psikis sekaligus. Dalam konteks kekerasan terhadap perempuan, perkosaan, pemukulan, serangan, penyiksaan, pelacuran dan pelecehan seksual adalah contoh dari ‘kekerasan fisik’ tersebut.
Akan tetapi, dalam perkembangan yang lain, ada bentuk-bentuk kekerasan atau agresivitas yang tidak bersifat fisik atau yang ‘tidak tampak’ (invisible). Di antara bentuk kekerasan yang tak tampak tersebut adalah apa yang disebut sebagai ‘kekerasan simbol’ (simbolic violence). ‘Kekerasan simbol’, meskipun melibatkan mediasi fisik—misalnya mekanisme bahasa atau media—akan tetapi tidak tampak sebagai kekerasan dalam pengertian fisik tersebut di atas, oleh karena ia tidak meninggalkan bekas-bekas fisik.
Dalam konteks media pemberitaan, setidak-tidaknya ada dua tingkat kekerasan simbol, yaitu 1) kekerasan pada ‘mekanisme simbol’ (symbolic mechanism), yaitu relasi-relasi sosial-politik atau ideologis di balik simbol, dan 2) kekerasan pada tingkat ‘makna simbol’ (simbolic meaning) serta ‘tanda bahasa’ (language sign) yang digunakan di dalamnya. Inilah bentuk kekerasan pada apa yang dikatakan, diucapkan, ditulis, digambarkan dan divisualkan. Kekerasan pada mekanisme simbol adalah kekerasan berupa ‘pemaksaan simbol dan maknanya’ dengan memanfaatkan otoritas kekuasaan, sementara kekerasan ‘isi simbol’ adalah berupa ‘agresivitas’ yang terkandung dalam simbol itu sendiri.
Dengan lebih memfokuskan diri pada mekanisme bahasa, Pierre Bourdieu, di dalam Outline of a Theory of Practice, menjelaskan ‘kekerasan simbol’ sebagai sebuah ‘bentuk kekerasan yang halus dan tak tampak’, yang tidak dikenal, atau hanya dikenal hanya dengan menyembunyikan mekanisme tempatnya bergantung. Ia adalah sebuah bentuk kekerasan yang biasanya beroperasi sebagai sebuah bentuk ‘dominansi simbolik’. Bentuk kekerasan tersebut dikatakan tidak tampak oleh karena ia beroperasi pada domain simbolik, khususnya berupa ‘pemaksaan simbolik yang sangat halus’. Ia disebut sebagai ‘pemaksaan halus’ oleh karena pemaksaan dan dominasi simbolik tersebut berlangsung secara tidak kasat mata, sehingga orang yang didominasi secara simbolik tidak menyadari adanya pemaksaan (unconscious), atau menerima pemaksaan tersebut secara tidak kritis sebagai sebuah common-sense. Konsep kekerasan simbol menggiring kita ke arah sebuah mekanisme sosial, yang di dalamnya relasi komunikasi saling bertautan dengan relasi kekuasaan .
Dalam konteks kekerasan terhadap perempuan dalam pemberitaan, kekerasan simbol adalah bentuk ‘pemaksaan simbol’, yang diciptakan oleh dunia laki-laki terhadap perempuan, berupa berbagai bentuk pemaksaan bahasa verbal, tulisan, gambar, cerita, tontonan, filem, video, musik, game, filem, yang di dalamnya terkandung muatan-muatan representasi kekerasan. Konsep kekerasan simbol terhadap perempuan (di dalam pemberitaan) menggiring kita ke arah sebuah mekanisme sosial, yang di dalamnya relasi komunikasi saling bertautan dengan relasi kekuasaan dan ideologi patriarki. Dalam hal ini, relasi kekuasaan dan dominasi laki-laki atas perempuan digunakan sebagai sebuah bentuk otoritas dalam mendefinisikan, mengkonstruksi dan menciptakan representasi tentang perempuan di dalam media, yang di dalamnya berlangsung sebuah bentuk pemaksaan dan dominasi simbolik yang halus dan tak tampak.
Kekerasan simbol terhadap perempuan dalam pemberitaan pers beroperasi lewat sebuah mekanisme dominansi patriarkis dalam penguasaan (infrastruktur) media komunikasi, bahasa yang digunakan di dalam komunikasi, makna-makna yang dipertukarkan di dalam komunikasi, seleksi dan sensor terhadap isi komunikasi, serta interpretasi terhadap makna komunikasi. Kekerasan simbol terhadap perempuan, dengan demikian, merupakan sebuah ‘kekerasan total’ pada tingkat representasi. Berdasarkan model kekerasan simbol Bourdieu, dominasi simbol (symbolic domination) terhadap perempuan dimulai ketika perempuan yang didominasi menerima sebuah simbol dalam bentuknya yang distortif (meconnaissance), memberikan pengakuannya (reconnaissance) terhadap apa yang diterima secara distortif itu, dan kemudian menggiring mereka untuk menerapkan kriteria interpretasi, penilaian, evaluasi patriarki di dalam praktek simbolik mereka sendiri.
Dalam konteks relasi gender, kekerasan simbol dapat juga diartikan sebagai pemaksaan kesewenangan budaya (cultural arbitrary) oleh kaum laki-laki terhadap perempuan, yang tampak pada hirarki bahasa dan cara menggunakan hirarki bahasa tersebut di dalam media komunikasi—atau media lainnya—yang secara struktural didominasi oleh kaum laki-laki (man-dominated world). Oleh sebab itulah, kajian bahasa tidak dapat dipisahkan dari kajian tentang ideologi di balik ungkapannya, oleh karena bahasa adalah sebuah media tempat ideologi itu dikomunikasikan atau disosialisasikan. Mempelajari sebuah simbol atau sebuah bahasa sama artinya dengan mempelajari kepercayaan, keyakinan atau sikap-sikap politik yang tersimpan di balik ungkapan simbol dan bahasa tersebut.
Meskipun demikian, ‘ideologi’, menurut John B. Thompson, di dalam Studies in the Theory of Ideology, bukanlah sebuah sebuah sistem, di mana terjadi pemaksaan konsep, ide atau kepercayaan terhadap masyarakat secara vertikal dari dari atas; akan tetapi sebuah sistem yang mempunyai mekanisme yang jauh lebih kompleks. Di dalamnya makna-makna dikerahkan di dalam praktek wacana komunikasi sosial sehari-hari dengan model discourse yang sangat kompleks, meskipun tujuan utamanya adalah pelanggengan relasi dominansi. Oleh karena itu sangat penting untuk memahami cara-cara bagaimana teori ideologi berkaitan dengan metoda analisis praktek discourse, di mana ideologi itu diekspresikan .
Dalam kerangka pengertian tersebut di atas, ‘ideologi’ dalam konteks relasi gender dapat dianggap sebagai sebuah ilmu tentang cara-cara makna (signification) digunakan untuk melanggengkan relasi dominansi patriarki, akan tetapi dengan sebuah mekanisme pelanggengan yang sangat halus (soft domination). Kekuatan kata-kata (the power of words) atau gambar digunakan dalam sistem kekuasaan partriarki untuk memperlihatkan otoritasnya dalam mewakili kelompok yang direpresentasikannya (perempuan). Di dalam banyak kasus terdapat hubungan yang erat antara ‘kekuasaan’ dengan ‘kekuatan kata-kata’ yang dimiliki oleh orang yang berbicara. Kekerasan simbol terhadap perempuan, dengan demikian, adalah penggunaan dominansi patriarki melalui media-media komunikasi, dengan cara tertentu sehingga dominansi itu sendiri tidak tampak, dan dengan demikian diakui sebagai legitimated
Di samping kekerasan pada tingkat mekanisme bahasa, kekerasan simbolik juga dapat terjadi pada isi bahasa (language content), yaitu pada apa yang diucapkan, disampaikan, diekspresikan, dituliskan, digambarkan, diilustrasikan serta tanda-tanda (signs) yang digunakan di dalamnya. Dalam hal ini, penulis lebih cenderung menyebut kekerasan pada tingkat tanda ini sebagai ‘kekerasan semiotik’ (semiotic violence) untuk membedakannya dengan kekerasan simbolik. Berbeda dengan kekerasan pada mekanisme bahasa—di mana pemaksaan dominansi kekuasaan disembunyikan lewat simbol-simbol—kekerasan pada isi bahasa lebih berkaitan dengan bagaimana sebuah ucapan, sebuah kata-kata, sebuah ungkapan, sebuah tanda pada tingkat simbolik mengekspresikan berbagai bentuk kekerasan di dalam kehidupan sosial (kesadisan, kebrutalan, kekejaman). Apa yang dikatakan itu sendiri sudah merupakan satu bentuk kekerasan, kekejaman atau agresivitas. Dalam pengertian ini, kata-kata ‘pelacur’, ‘perempuan bugil’, ‘perempuan jalang’, ‘digarap’, ‘dikerjain’, dsb. merupakan satu bentuk kekerasan pada tingkat ucapan simbolik atau tanda, baik yang bersifat verbal, tulisan maupun visual. Kekerasan pada isi bahasa, dengan demikian, lebih tampak sebagai kekerasan pada ‘vulgaritas bahasa’ yang digunakan dalam pemberitaan tentang perempuan.
Dalam pengertian inilah, Baudrillard di dalam The Evil Demon of Images, melihat citraan di dalam berbagai bentuk media—termasuk media pemberitaan—sebagai iblis-iblis jahat (the devil demon) disebabkan muatan kekekerasan semiotik dan vulgaritas bahasa yang dipertontonkan di dalamnya.

Tipologi dan Ruang Kekerasan Simbolik Terhadap Perempuan

Kekerasan simbolik terhadap perempuan di dalam media pers sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari ‘kekerasan terhadap bahasa’ (language violence) yang digunakan di dalam media tersebut, khususnya berupa apa yang dapat disebut sebagai ‘perkosaan bahasa’. “perkosaan bahasa’ dapat diartikan di sini sebagai tindak ‘pemaksaan’, ‘kekasaran’ atau ‘kevulgaran’ dalam perlakuan terhadap bahasa. Dapat dikatakan di sini, bahwa ‘perkosaan kedua’ (second rape) terhadap perempuan di dalam pemberitaan pers saling berhubungan dengan ‘perkosaan’ terhadap bahasa (language rape). ‘Perkosaan’ terhadap bahasa adalah tindak menggunakan kata-kata, mengkombinasikan kalimat, penggunaan metafora eufemisme, stigmatisasi, hiperbola atau analogi, sedemikian rupa, sehingga menimbulkan efek ‘kerusakan’ pada bahasa itu sendiri, khususnya kerusakan pada tataran makna dan nilai informasinya.
Istilah ‘perkosaan bahasa’ dapat digunakan di sini dengan mengacu pada pemikiran Paul Ricoeur tentang bahasa, khususnya tentang metafora. Paul Ricoeur di dalam ‘The Metaphorical Process as Cognition, Imagination and Feeling’, menggunakan istilah ‘penyimpangan’ (deviance) atau ‘abnormalitas’ untuk menjelaskan sejenis metafora yang mengandung “ketidak-pantasan semantik, lewat pelanggaran kode kepantasan (code of pertinence) atau kecocokan” yang mengatur bahasa dalam penggunaannya yang biasa atau normal. Metafora yang menyimpang ini menyebabkan hancurnya ‘makna literal’, yaitu makna yang diperoleh bila kita menggunakan nilai perbendaharaan kata yang normal. Metafora, lalu, menggiring ke arah ‘enigma’, yaitu ke arah ‘kegelapan semantik’ dan ketidak-pastian makna. Perkosaan bahasa seperti ini ‘dapat diterima’ di dalam bahasa-bahasa sastra atau puitik, yang tidak mempunyai tugas komunikasi dan informasi yang langsung untuk masyarakat. Akan tetapi, ‘perkosaan’ tersebut menjadi sebuah ‘kekerasan simbolik’, bila ia dilakukan di dalam sebuah bahasa pers yang mempunyai tugas sebagai media komunikasi langsung (direct communication) dengan masyarakatnya.
‘Perkosaan bahasa’ berlangsung ketika terjadi ‘ekses’ atau ‘ekstrimitas’ dalam penggunaan elemen-elemen bahasa di dalam pers, yang menggiring pada kegelapan makna atau enigma. Ekses seperti ini tentunya dapat pula terjadi di dalam berbagai ‘cara bertutur’ atau figure of speech, selain metafora, seperti metonymy, parodi, eufemisme, stigmatisasi, hiperbola atau analogi.
Analisis tekstual berikut ini terhadap sampel-sampel tulisan dari tujuh surat kabar Sumatera, yaitu Sinar Indonesia Baru, Serambi Indonesia, Mimbar Minang, Riau Pos, Sriwijaya Post, Jambi Independence dan Semarak, memperlihatkan bagaimana kekerasan terhadap bahasa berkaitan (atau mempunyai efek langsung atau tidak langsung) dengan kekerasan simbolik terhadap perempuan yang diberitakan di dalamnya. Di dalam hasil penelitian Pemilianna Pardede dan kawan-kawan telah diungkapkan berbagai jenis kekerasan simbolik terhadap perempuan di berbagai surat kabar Sumatera, yaitu berupa eufemisme, metafora, stigmatisasi, disfemisme, dan hiperbola. Tulisan ini mencoba mengungkapkan sisi lain dari kekerasan simbolik tersebut, yaitu melukiskan ‘ruang-ruang bahasa’ tempat berlangsungnya kekerasan simbolik tersebut. Ada berbagai ‘ruang’ dalam bahasa (pers)—baik bahasa tulisan (language) maupun visual (visual language)—yang di dalamnya berpeluang besar terjadi kekerasan terhadap bahasa, dan sekaligus kekerasan terhadap perempuan lewat bahasa yang digunakan, yaitu pornografi, pornokitsch, fetisisme seksual (sexual fetishism), seksisme simbolik, dan voyeurism.
(1). Pornografi. Di dalam The Fontana Dictionary of Modern Thought, ‘pornograafi’ didefinisikan sebagai bentuk “representasi (dalam literatur, filem, video, drama, seni rupa, dsb) yang tujuannya adalah untuk menghasilkan kepuasan seksual. Definisi ‘pornografi’ seperti demikian jelas tidak menyiratkan muatan ‘kekerasan (simbolik)’ atau ‘pemaksaan’ terhadap siapa-siapa (khususnya perempuan) di dalamnya. Lalu, bagaimana melihat pornografi sebagai sebuah bentuk ‘kekerasan simbolik’ atau ‘pemaksaan bahasa’? Uraian Jacquelyn Zita berikut ini dapat menjelaskan muatan kekerasan tersebut. Zita menjelaskan ‘pornografi’ sebagai penggunaan representasi perempuan (tulisan, gambar, foto, video, filem) dalam rangka manipulasi hasrat (desire) orang yang melihat, yang di dalamnya berlangsung proses degradasi perempuan (Italic oleh penulis) dalam statusnya sebagai ‘obyek seksual’ (sexual object) bagi laki-laki. Pornografi mengajarkan laki-laki sebagai aktif, kuasa dan benar, sedangkan perempuan sebagai pasif, tunduk (submissive) serta selalu salah. Singkatnya, pornografi, menciptakan sebuah proses ‘obyektifikasi perempuan’ secara sistematis untuk kepentingan ekslusif ‘subyektifikasi laki-laki’, yang di dalamnya terjadi sebuah proses ‘kekerasan yang tak tampak dan halus’ sebagaimana yang dijelaskan oleh Bourdieu.
Selain itu, berdasarkan teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh Freud dan Lacan, di dalam pornografi, citraan (image) mempunyai peran yang sangat besar dalam menimbulkan rangsangan maupun kepuasan seksual bagi laki-laki. Pentingnya citraan ini diperlihatkan oleh kecenderungan laki-laki untuk mengembangkan berbagai bentuk fantasi ketika ia melihat citraan (pornografi) tersebut. Citraan—baik verbal atau visual—mempunyai peran yang sangat sentral dalam menimbulkan rangsangan hasrat dalam pornografi. Pornografi, dengan demikian, berfungsi sebagai alat yang sangat masif dalam mendukung kekuatan simbolik patriarki (symbolic power), yang tidak saja membatasi ruang bagi berkembangnya hasrat dan kepuasan perempuan, akan tetapi menempatkan perempuan sebagai obyek pasif bagi kesenangan laki-laki yang aktif. Dengan demikian, yang ditekankan dalam pornografi adalah bagaimana sebuah tulisan, gambar atau ilustrasi di dalam berbagai bentuk media dapat menimbulkan sebuah rangsangan hasrat seksual, khususnya bagi laki-laki.
Pornografi dengan segala perangkat, media dan bahasanya adalah sebuah praktik sosial yang menggunakan (secara paksa) kode-kode tertentu pada tubuh perempuan, untuk dapat menciptakan teks dan citraan-citraan, yang dapat memproduksi efek-efek psikologis yang merusak pada perempuan sebagai korban”. Pornografi menimbulkan degradasi pada perempuan dengan cara mengeksploitasi ketelanjangan perempuan, nilai tanda dari organ-organnya (body signs), serta posisi seksualnya yang submisif sebagai ‘nilai ekonomi libido’ (libidinal currency), sebagaimana yang dikatakan oleh J.F. Lyotard di dalam Economy Libidinale. Tulisan berikut ini memperlihatkan nilai ekonomi libido dari kata-kata.

“ Saat itulah ES mendekati Ros dan melihat korban dalam keadaan telentang tanpa memakai pakaian hingga timbul birahinya. Melihat pemandangan dan posisi korban yang cukup menggiurkan, ES kemudian membuka celananya dan melakukan perkosaan terhadap Ros (Waspada)

Kata-kata telentang tanpa memakai pakaian dan membuka celananya mempunyai nilai ekonomi libido yang tinggi, lewat kemampuannya menimbulkan rangsangan seksual, dalam rangka menimbulkan daya pikat pembaca serta nilai ekonomis media di baliknya. Selain mengungkapkan ‘ketelanjangan’, kata-kata itu sendiri sudah merupakan sebuah ‘ketelanjangan bahasa’ (naked language) atau ‘kecabulan bahasa’ (language obscenity), sebagaimana yang dimaksud Jean Baudrillard. Tidak ada lagi tabir, tidak ada lagi rahasia, tidak ada lagi yang disembunyikan oleh bahasa, semuanya diungkapkan—inilah kecabulan (dan sekaligus kekerasan) informasi. Tulisan berikut mempunyai nilai ekonomi libido yang hampir sama, meskipun dengan kata-kata yang berbeda.

“Sesampai dalam rumah yang kebetulan sedang kosong tersebut, terdakwa langsung mencabuli korban dan selanjutnya mempreteli pakaian gadis kecil ini. (Mimbar Minang, 21/7/01)

Kata-kata mempreteli pakaian, dalam analisis semiotika mempunyai makna konotatif sebagai sebuah ‘proses’, yaitu urut-urutan dalam melepas pakaian gadis kecil satu-persatu, yang di dalam proses tersebut terkandung makna-makna erotis yang sangat tinggi, yang muncul dari proses ‘penelanjangan bertahap’. Makna erotis ini lebih tinggi dibandingkan kata-kata ‘membuka pakaian’. Gadis kecil, dalam bentuk kata yang aktif ini—mempreteli—menempati posisi di dalam ruang bahasa sebagai sebuah ‘obyek’, layaknya sebuah kursi yang dipreteli.

(2). Pornokitsch. Penggunaan kata-kata (diksi) atau penampilan gambar tertentu di dalam media pers, disadari atau tidak oleh media pers, dapat mengandung sebuah kekerasan simbolik, disebabkan rendahnya ‘standard’ atau ‘selera’ (taste) penulis atau medianya. Pemilihan kata-kata atau gambar sering menjebak penulis pada sifat ‘vulgaritas bahasa’, yang kemudian menggiring pada pendangkalan kualitas estetik serta degradasi kualitas informasi tulisannya, disebabkan adanya penyimpangan atau distorsi informasi. Salah bentuk vulgaritas dan pendangkalan dalam bahasa adalah kitsch. Gillo Dorfles di dalam Kitsch: An Anthology of Bad Taste, mendefinisikan ‘kitsch’ sebagai ‘selera rendah’ (bad taste) , ‘sampah artistik’ atau ‘estetika rongsokan’. Selera rendah pada sebuah karya—termasuk tulisan pers—tampak dari rendahnya ‘standard estetik’ yang digunakan pada tulisan tersebut, sehingga yang menonjol di dalamnya bukanlah nilai estetik dan informasinya, melainkan nilai provokasinya. Pornografi seringkali dimasukkan sebagai bagian dari selera rendah tersebut, disebabkan alasan etimologis, yaitu bahwa istilah ‘porno’ yang dalam bahasa Yunani berarti ‘prostitusi pada tingkatnya yang paling rendah’ inheren di dalamnya pengertian mengenai ‘selera rendah’.
Selain itu, Jean Baudrillard di dalam “Mass Media Culture’, menjelaskan pula berbagai ciri lain dari kitsch, antara lain sebagai “ . . .simulasi, kopi, facsimile. . .sebagai pendangkalan kualitas tanda (sign). . .sebagai bentuk pemujaan detil, sebagai bombardir detil-detil”. Kitsch, dalam hal ini, lebih dicirikan oleh ‘peminjaman bahasa’ (language transposision) atau detil bahasa oleh satu genre dari genre lainnya, yang di dalam proses peminjaman tersebut justeru terjadi pendangkalan makna dan proses dekontekstualisasi yang tidak pada tempatnya. Dapat dikatakan di sini, bahwa kitsch adalah sebuah bentuk ‘peminjaman paksa’ sebuah elemen bahasa, yang di dalamnya terjadi pendangkalan dan bahkan distorsi makna. Oleh sebab itulah, Umberto Eco, menyebut kitsch sebagai sebuah ‘representasi palsu’, oleh karena ia “. . .memperalat gaya (stylemes) karya lain untuk kepentingan dirinya sendiri, yang lebih didasarkan pada (semangat) meniru, reproduksi, adaptasi dan simulasi. . .(dan) yang tujuannya adalah untuk ‘menghasilkan efek yang segera’. . .” Kitsch dapat dikatakan sebagai sebuah ‘perkosaan bahasa’ oleh sebuah karya, teks atau tulisan.
Batas antara ‘pornografi’ dan ‘kitsch’ itu sendiri sesungguhnya sangat tipis, disebabkan keduanya sama-sama dicap sebagai karya seni dengan selera rendah, sama-sama megandung unsur ‘perkosaan bahasa’. Pornografi dikatakan sebagai sebuah bentuk ‘perkosaan bahasa’, oleh karena di di dalamnya tulisan atau citra wanita telanjang atau adegan seksual tertentu ditampilkan lewat ‘bahasa telanjang’, dengan tujuan lebih sebagai eksploitasi seksual dan komersial, sehingga ia menjadi sebuah kendaraan yang paling subur bagi bertumbuhnya kitsch. Yang lebih diutamakan dalam gambar tersebut adalah efeknya yang instan, yaitu efek membangkitkan rangsangan seksual, ketimbang menawarkan pengalaman estetik, bahasa, dan sastra yang lebih tinggi atau ‘sublim’.
Ketika pornografi terperangkap di dalam strategi kitsch, maka yang berkembang adalah pornokitsch. Berbeda dengan pornografi pada umumnya, pornokitsch lebih dicirikan oleh penggunaan simulasi, ikon (iconic sign), reproduksi, metafora atau metonymy untuk melukiskan makna-makna yang berkaitan dengan tubuh atau tindakan seksual tertentu, akan tetapi simulasi, reproduksi atau metafora tersebut mempunyai kualitas ‘murahan’, ‘dangkal’ atau ‘a-kontekstual’ . Di dalam media pers, sifat selera rendah, murahan atau dangkal tersebut terlihat pada cara peminjaman kata-kata atau tanda (metafora) dari teks atau genre lain, cara menonjolkan detil sebuah peristiwa atau gambar, tanpa pertimbangan estetis yang ‘sublim’, makna yang dalam, atau nilai informasi yang tinggi, tetapi semata sebagai cara untuk menimbulkan efek provokasi, kejutan dan rangsangan seksual yang segera dan rendah pada pembaca. Tulisan berikut merupakan sebuah contoh dari bentuk kitsch, yang berasal dari penggunaan metonymy yang dangkal.

“Korban yang masih bocah menurut saja dan kesempatan itu langsung dimanfaatkan RS dengan melakukan perbuatan esek-esek. (Riau Post, 11/07/01)

Metonymy dalam terminologi semiotika berarti substitusi tanda menggantikan tanda lainnya, untuk mengungkapkan sebuah makna, atau penggunaan sebuah tanda untuk menjelaskan makna yang lebih luas (bagian/part untuk mewakili keseluruhan/whole). Di samping sebagai sebuah eufemisme, kata esek-esek adalah sebuah metonymy, yang digunakan untuk ‘merepresentasikan’ sebuah proses ‘persetubuhan’ (tepatnya perkosaan) secara totalitas. Akan tetapi, esek-esek adalah sebuah metonymy yang murahan, disebabkan di dalam proses persetubuhan yang normal sama sekali tidak ada proses yang disebut ‘(g)esek-(g)esek’. Metonymy digunakan secara vulgar pada tulisan di atas, yang sekali lagi menempatkan perempuan dalam posisi ‘obyek’, layaknya sebuah kursi yang tak berjiwa. Teks berikut adalah contoh lain dari kitsch, yang berasal dari penggunaan metafora yang tidak tepat (deviance).

“Tersangka dengan bujuk rayunya berhasil mengajak korban “naik ke bulan” di sebuah penginapan di kawasan Sunggal (Sinar Indonesia Baru, 24/7/01)

Sebagai sebuah metafora untuk menjelaskan proses persetubuhan, kata-kata naik ke bulan dapat dimasukkan ke dalam apa yang disebut Ricoeur sebagai ‘metafora menyimpang’ (deviant metaphor). Sebagai sebuah tanda pinjaman (transferred sign), kata-kata tersebut telah kehilangan makna lateral maupun konotatif. Tidak ada sama sekali makna konotatif yang muncul dari kata bulan, misalnya konotasi ‘tindak seksual’, atau ‘feminin’. Metafora tersebut mungkin digunakan untuk merepresentasikan ‘kepuasan puncak’. Bila memang demikian, ia telah meredusir sebuah perkosaan sebagai sebuah ‘kesenangan bersama’, oleh karena kedua pihak bersama-sama ‘naik ke bulan’. Metafora digunakan di sini, bukan untuk menggiring ke arah kebenaran makna, akan tetapi untuk menciptakan deviasi dan distorsi makna yang sangat jauh. Tulisan berikut memperlihatkan vulgaritas metafor yang lebih hebat.

“Sebelum menuju sasaran, Tn melakukan pemanasan kemudian secara perlahan ia menyetubuhi anaknya. . .” (Semarak 6/7/01)

Dalam tulisan ini metafora ‘olah raga’—sasaran dan pemanasan—digunakan untuk merepresentasikan persetubuhan. Metafora semacam ini dapat dikategorikan sebagai metafora dangkal atau buruk (bad metaphor), disebabkan terlalu jauhnya jarak dalam peminjaman tanda (‘tanda seksual’ untuk ‘tanda olah raga’), sehingga menyebabkan lenyapnya konteks perkosaan. Selain itu, penggunaan metafora sasaran (konotasinya: sasaran anak panah) semakin memperkuat penggambaran perempuan sebagai sebuah obyek yang pasif dan tak berdaya—seperti sasaran panah—yang tidak mampunyai kekuatan perlawanan. ‘Metafora yang buruk’ telah menggiring ke arah ‘selera buruk’ pada tingkat bahasa (kitsch), yang selanjutnya menggiring pada semakin buruknya efek ‘perkosaan kedua’ dalam pemberitaan pada perempuan.
Pornokitsch pada tulisan dapat terbentuk akibat terlalu detilnya obyek, organ, atau peristiwa yang digambarkan dan terlalu telanjang dan vulgarnya bahasa yang digunakan, seperti yang tampak pada tulisan berikut:

“Di tengah rontaan sang gadis, tangan Es bekerja. Payudara milik korban ia remas dengan nafsu. Tidak hanya sampai di situ, tangannya yang lain menelusup masuk ke celana dalam gadis itu. Kemudian telunjuk kanan pria dewasa itu masuk menjelajah bagian terlarang yang selama ini dijaga sang gadis” (Semarak, 7/7/01).

Inilah contoh dari pemujaan terhadap ‘detil’, seperti yang dikatakan oleh Baudrillard, yaitu penyampaian detil-detil peristiwa, tubuh, organ tubuh atau pakaian (payudara, tangannya yang lain, telunjuk kanan, celana dalam) lewat kata-kata dan bahasa yang sangat vulgar, kasar, dan murahan (remas, menelusup, menjelajah) yang tujuan utamanya bukan memberikan informasi yang bersifat mendidik, persuasif, legal, atau moral, akan tetapi semata untuk merangsang hasrat seksual, keingin-tahuan, serta merangsang fantasi-fantasi seksual pada para pembacanya. Ia hanya membangkitkan apa yang dikatakan Lacan sebagai ‘hasrat untuk memiliki’ (active anaclitic desire), yaitu hasrat untuk memiliki obyek-obyek seksual—payudara, celana dalam, bagian terlarang—yang ditampilkan sebagai cara untuk mencapai kepuasaan (jouissance) pembaca. Tulisan ini dapat dikategorikan sebagai pornokitsch disebabkan kombinasi ketelanjangan bahasa dan vulgaritas kata-kata yang ada di dalamnya. Berita—ketimbang memberikan informasi mendidik—berubah wujud menjadi sebuah bentuk ‘hiburan ringan’ (light entertainment).

(3) ‘Fetisisme Seksual’ (Sexual Fetishism). Di dalam masyarakat informasi dewasa ini, cara sebuah citraan diproduksi, siapa yang memproduksi, motif di balik produksi, relasi sosial yang ada di baliknya, serta ideologi yang tersembunyi di dalamnya, sangat mempengaruhi makna serta nilai guna citra itu sendiri. Di dalam fenomena citraan, selalu saja ada celah yang membatasi antara ‘penampilan’ sesuatu (citraan) dan makna yang sesungguhnya. ‘Fetisisme’ (fetishism) adalah sebuah kondisi, yang di dalamnya sebuah obyek mempunyai makna yang tidak sesuai dengan realitas yang sesungguhnya. Istilah ‘fetish’ berasal dari bahasa Portugis feitico, yang berarti pesona, daya pikat atau sihir. Marx menggunakan istilah ini dalam konteks antropologi sebagai ‘segala sesuatu yang dipuja tanpa alasan akal sehat’, misalnya berhala, jimat atau susuk. Termasuk ke dalamnya adalah ‘pemujaan’ terhadap ikon-ikon modern, seperti rambut Elvis Presley, jaket Michel Jackson atau tas Madonna, yang dianggap mempunyai ‘kekuatan’ atau ‘pesona’ tertentu, sehingga untuk memperolehnya orang mau membeli dengan harga yang sangat mahal .
Dalam teori psikoanalisis Freud istilah ‘fetisisme’ digunakan untuk menjelaskan sebuah situasi psikis, yang di dalamnya tindak seksual tidak mungkin diselesaikan (tercapainya orgasme) kecuali lewat kehadiran obyek-obyek tertentu yang bersifat non-seksual (non-sexual objects). Inilah yang disebut sebagai ‘fetisisme seksual’ (sexual fetishism), yaitu kondisi ketika rangsangan seksual muncul ketika obyek-obyek tak berjiwa (celana dalam, lipstik, BH, sepatu, rok, pembalut wanita) atau bagian tertentu dari tubuh (betis, paha, payudara, pipi, bibir, leher) menjadi fokus rangsangan seksual. Fetisisme di dalam teori psikoanalisis Freud dianggap sebagai sebuah kondisi abnormal, yaitu kondisi ketimbang terpuaskan oleh seseorang (perempuan), seseorang (terutama laki-laki) terpuaskan oleh bagian (part) atau tanda-tanda (signs) yang berkaitan dengan orang (perempuan) tersebut. Di dalam fetisisme terbentuk sebuah relasi metonymy—bagian (celana dalam) dianggap sudah mewakili keseluruhan (perempuan). Seseorang terpuaskan oleh apa yang disebut sebagai ‘obyek fetis’ (fetish object), ketimbang tubuh (perempuan) itu sendiri secara utuh.
Di dalam konteks media, penekanan pemberitaan mengenai obyek-obyek tertentu dari seorang perempuan korban (fetish object), seperti ‘betisnya yang mulus’, ‘pahanya yang putih’, ‘payudaranya yang montok’, ‘celana dalam hitam’, ‘BH putih’ atau ‘roknya yang tersingkap’ dapat mendorong ke arah fetisisme, yaitu memunculkan daya pesona, rangsangan, lewat fantasi-fantasi yang dikembangkan berkaitan dengan benda-benda tersebut. Fetisisme semacam ini mengandung unsur kekerasan simbolik di dalamnya, disebabkan ada ‘pemaksaan yang halus’ dengan memposisikan organ-organ tubuh perempuan atau benda-benda yang berkaitan dengannya sebagai ‘obyek fetis’, sebagai obyek-obyek untuk kepuasan laki-laki. Tulisan berikut ini menampakkan kecendrungan penonjolan obyek-obyek fetis tersebut.

“Saat itu, Sofyan telah memegang beberapa bagian terlarang di tubuh muridnya.
Bahkan, Sofyan sempat melepas BH sang murid. Serta, menempelkan hidung, ke telinga, pipi dan leher muridnya, Lilian” (Semarak, 31/7/01).

BH, telinga, pipi dan leher di dalam kalimat di atas adalah bagian (part) dari keseluruhan (whole) dari apa yang disebut sebagai totalitas ‘perempuan’, yaitu sebagai obyek-obyek fetis. Mengapa penulis tidak menuliskan tentang Sofyan yang mebuka celana dalamnya sendiri? Oleh karena celana dalam laki-laki bukanlah obyek fetis. Ada sebuah daya pesona, daya pikat atau kekuatan sihir pada BH, yaitu kemampuannya membangkitkan fantasi-fantasi dan akhirnya kepuasan seksual pada diri laki-laki. Benda tersebut menjadi bagian dari apa yang disebut Lacan ‘obyek hasrat’ (desiring object) laki-laki, yang menaturalisasikan posisi dominan laki-laki dalam relasi gender. Tulisan berikut mempunyai kecenderungan fetisisme yang sama.

“Pemuda berinisial Mad lalu berusaha membuka celana Levis dan celana dalam Eva. Sementara Per, Hab, Man dan Amb memegang tangan Eva.” (Jambi Independence, 17/7/01).

Di sini yang menjadi obyek fetis adalah celana levis dan celana dalam perempuan. Sekali lagi, dengan mengekspose bagian-bagian dari tubuh dan pakaian perempuan—dan menyembunyikan bagian tubuh dan pakaian laki-laki pelaku—penulis telah melakukan kekerasan simbolik berupa ‘pemaksaan secara halus’ bagian dari tubuh, pakaian dan obyek-obyek yang berkaitan dengan perempuan sebagai ‘obyek fetis’, yang sekaligus memperkuat beroperasinya ideologi patriarki. Tulisan berikut mengandung muatan obyek fetis yang jauh lebih sarat.

“Dengan ditemani kedua orang tuanya, Ros yang berparas cantik dan berkulit putih serta mengenakan T-Shirt dan celana panjang putih dan baru tamat SD itu hanya menganggukkan kepalanya ketika ditanya Waspada di Mapolsekta Medan Teladan Senin (Waspada, 9/7/01)

Paras cantik, kulit putih, T-Shirt dan celana panjang putih adalah obyek-obyek fetis, yang ketika ditonjolkan di dalam sebuah berita pers menjadi sebuah kendaraan yang mudah bagi berkembangnya kekerasan simbolik berupa pemaksaan ‘obyektifikasi perempuan’, dan memperkokoh ‘subyektifikasi laki-laki’ sebagaimana yang dikatakan Bracher.

(4) ‘Seksisme Simbolik’ (Simbolic Sexisme). ‘Seksisme’ (sexism) adalah diskriminasi yang berlatarbelakang seks, yang di dalamnya perbedaan seks dianggap relevan pada konteks-konteks yang sesungguhnya tidak relevan. Seksisme adalah bangun keyakinan yang secara sistematis mendistorsi pengetahuan tentang perempuan, sehingga merendahkan martabat dan merugikan eksistensinya sebagai manusia. Seksisme diperbincangan sebagai sebuah bentuk konspirasi di dalam masyarakat patriarki, dalam upaya untuk mendiskreditkan atau menempatkan perempuan di dalam posisi yang tidak menguntungakan lewat berbagai media, termasuk bahasa—‘bahasa seksis’ (sexist language). Bahasa seksis, dalam hal ini, adalah bahasa yang mengandung kekerasan simbolik, yang di dalamnya terjadi pemaksaan secara halus posisi subordinasi dan rendah perempuan lewat bahasa (ternoda, tercela, tuna susila, binal, emosional).
‘Ideologi seksisme’ (sexist ideology) adalah ideologi yang menjelaskan manipulasi realitas—lewat bahasa dan simbol-simbol—untuk melayani kepentingan laki-laki dan kapitalisme yang menjadi simbol patriarki. Lewat ideologi seksis tersebut, citra perempuan di dalam berbagai tindak kekerasan (termasuk perkosaan) digambarkan sebagai makhluk yang lemah, pasif, dan sebagai ‘si penggoda’. Ideologi patriarki (seksisme) menciptakan sebuah lukisan dunia perempuan, yang di dalamnya diciptakan berbagai bentuk ‘bias pengetahuan’—apapun yang diucapkan dan dilakukan oleh perempuan di dalam relasi seksual, seperti perkosaan, semuanya dilihat sebagai simbol dari inferioritas.
Perbincangan mengenai seksisme adalah perbincangan mengenai hubungan kekuasaan di antara seks, dan relasi kekuasan ini tercermin dari ungkapan-ungkapan bahasa yang digunakan di dalamnya. Meskipun relasi ideologis di balik ungkapan bahasa ini menurut Kristeva sesungguhnya sangat kompleks, akan tetapi, secara umum ia menempatkan posisi perempuan sebagai submisif, subordinasi dan pasif. Proses ‘pasifikasi’—yaitu menempatkan posisi perempuan sebagai tidak berdaya—terlihat dari penggunaan bahasa, misalnya penggunaan kata-kata yang mengarah pada ‘obyektifikasi perempuan’ seperti berikut ini.

“ Di tempat itulah Lina kembali dikerjain Togap, hingga ia puas melampiaskan nafsunya” (Riau Pos, 4/7/01)

Kata melampiaskan pada tingkat konotasi (connotative meaning) mengandung di dalamnya makna perempuan sebagai makhluk yang sangat lemah, rentan, tidak berdaya, tidak kuasa, sehingga layak dijadikan sebagai obyek pelampiasan hasrat. Kalimat ini akan bermakna konotatif sama dengan kalimat “Togap melampiaskan kemarahannya dengan membanting kursi”. Kursi sebagai sebuah benda mati, tak berdaya. Perempuan di sini digambarkan—seperti sebuah kursi—sebagai sebuah ‘obyek’ yang sama sekali tidak mempunyai hasrat, perlawanan atau kekuatan. Dengan demikian, makna konotatif dari kalimat ini adalah naturalisasi ideologi ‘subyektifikasi laki-laki’ di dalam masyarakat patriarki. Tulisan berikut mempunyai kecenderungan seksisme simbolik yang sama.

“Menurut laporan keluarga korban ke polisi, korban telah tiga kali digarap Saidi yakni 1 mei, 26 Mei dan 2 Juni 2001 (Sriwijaya Post, 6/7/01).

Penggunaan kata digarap di dalam kalimat di atas merupakan sebuah metafora yang di dalamnya obyektifikasi terhadap perempuan mengambil bentuk perumpamaan yang sarat dengan pemaksaan simbolik yang tidak menguntungkan perempuan. Kata ‘digarap’, pada tingkat semiotik, mempunyai makna konotatif sebagai ‘kepemilikan’ (‘sawah’ = ‘perempuan’) oleh laki-laki, makna ‘aktif’ (laki-laki)/’pasif’ (sawah, perempuan), dan ‘ketidak-berdayaan’ sawah/perempuan sebagai obyek garapan. Tulisan berikut mengandung bahasa seksis dalam bentuk yang agak sedikit berbeda.

“Dia sengaja menemui seorang gadis kembang desa sebut saja namanya Siska (18) kemudian mereka berdua pergi naik angdes menuju Desa Selau, di tempat ini terjadi hubungan intim Timbul dan korban” (Semarak, 8/7/01)

Di dalam tulisan ini istilah kembang desa digunakan sebagai metafora untuk menggambarkan makna konotatif ‘kebungaan’ (flowerness), yaitu sifat-sifat bunga—halus, indah, harum, cantik, lembut, gemulai—yang diasosiasikan dengan sifat dan stereotip perempuan. Metafora seperti ini menaturalisasikan struktur ‘oposisi biner’ (binary opposition) dalam relasi bahasa, yang di dalamnya terbentuk relasi aktif/pasif—perempuan (kembang) dan laki-laki (pemetiknya).

(5) ‘Voyeurisme’ (Voyeurism). ‘Voyeurisme’ adalah kesenangan yang diperoleh ketika melihat obyek hasrat atau organ tubuh tertentu. Voyeurisme menciptakan sebuah ‘ruang bahasa’, yang di dalamnya terbentuk sebuah relasi melihat/dilihat, gazing/gazed, seeing/seen. Voyeurisme menjadi sebuah bentuk kekerasan simbolik, ketika terjadi pemaksaan dalam relasi melihat/dilihat tersebut, yaitu pemaksaan posisi perempuan sebagai ‘obyek yang dilihat’ (seen) dan laki-laki sebagai subyek yang melihat’ (seeing). Laura Mulvey, di dalam ‘Visual Pleasure and Narrative Cinema’, melihat bagaimana media—khususnya media filem—menjadi sebuah tempat eksplorasi tubuh perempuan untuk dijadikan sebagai obyek tontonan, dalam rangka menghasilkan ‘kesenangan melihat’ (voyeurisme) di dalam budaya patriarki.
Obyek dan citra tubuh yang dipresentasikan lewat berbagai media (gambar, video, vcd, filem, televisi, internet) berdasarkan teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh Jacques Lacan, dan juga dikembangkan di dalam teori media oleh Laura Mulvey, berpotensi sebagai sumber rangsangan seksual. Rangsangan seksual tersebut dapat bangkit disebabkan peran besar yang dimainkan oleh ‘fantasi’ di dalam proses melihat. Adalah fantasi yang memaknai sebuah obyek atau citra yang dilihat—yang sebelumnya belum bermakna seksual—yang mengarah pada timbulnya rangsangan seksual.
Di dalam masyarakat patriarki, tubuh perempuan dieksploitasi oleh laki-laki sebagai ‘pekerja semiotik’—dengan mengendalikan ‘tatanan simbolik’ (symbolic order), bahasa yang digunakan, serta pemaksaan posisi dalam relasi melihat/dilihat—sehingga di dalam dunia tersebut laki-laki dapat mengembara di dalam berbagai fantasi dan obsesinya. Perempuan diposisikan sebagai pembawa makna (bearer of meaning), bukan pencipta makna (creator), yang dapat menawarkan sejumlah kemungkian kesenangan (pleasures) pada laki-laki. Salah satu bentuk kesenangan dalam proses melihat adalah scopophilia, yaitu kesenangan menjadikan orang lain sebagai obyek, yang dikendalikan tampilan dan citranya, sehingga mengundang rasa ingin tahu yang bersifat seksualitas. Berdasarkan teori psikoanalisis Lacan, ‘citra’ (image)—baik verbal atau visual (foto, majalah, televisi, video, filem)—mempunyai pengaruh yang besar pada pembentukan rangsangan hasrat bagi orang yang melihat. Media pers melakukan kekerasan simbolik ketika ia memberikan ruang untuk berkembangnya ‘rasa keingin-tahuan seksual’, lewat tulisan yang memberi informasi mengenai cara, metoda atau alatnya, seperti yang tampak pada tulisan-tulisan berikut ini:

“Sebelum melakukan perbuatannya, pelaku selalu memutar film India atau jenis film yang mampu menaikkan gairah berahinya. (Jambi Independence, 6/7/01)

“Pemerkosaan terhadap bocah cilik ini dilakukan terdakwa karena diduga dia terpengaruh film porno yang sering ditonton. Selain itu ada hal lain yang dari perbuatan pelaku saat melihat korbannya pulang sekolah dan hanya mengenakan celana pendek”, (Jambi Independence, 20/7/01)

Dengan berbagai muatan kekerasan simboliknya, media pers dapat menjadi media ‘pembelajaran’ bagi masyarakat, yaitu sebagai sumber informasi mengenai berbagai bentuk ‘abnormalitas’ dalam seksualitas, yang mungkin tidak diketahui sebelumnya. Salah satu bentuk abnormalitas tersebut adalah ‘scopofilia dengan paksaan’ (scopophilia by force), yaitu seseorang atau kelompok orang melakukan tindak pemaksaan pada laki-laki dan perempuan untuk memamerkan atau melakukan tindakan seksualitas—seperti persetubuhan—untuk dilihat oleh mereka. Tulisan berikut adalah contoh bagaimana media pers ikut mensosialisasikan abnormalitas seksual tersebut pada masyarakat luas:

“Di tengah lampu yang remang-remang serta suasana sunyi serta disaksikan kedelapan pria itu, An dan Ful melakukan hubungan suami-isteri. Apakah kedelapan pria puas? Belum. Begitu Ful dan An selesai berhubungan, salah seorang dari mereka ES minta jatah. Gadis An pun tak kuasa menolak. Dihadapan kekasihnya, gadis yang baru tamat SMP ini dipaksa memenuhi nafsu bejat ES” (Radar Medan, 7/7/01).

Di dalam tulisan di atas, ada dua bentuk scopofilia, yaitu sekelompok laki-laki memaksa sepasang remaja melakukan perkosaan untuk disaksikan oleh mereka sendiri, dan kedua memaksa remaja laki-laki untuk menyaksikan adegan perkosaan terhadap pacarnya oleh seorang laki-laki lain. Media sama sekali tidak mengungkapkan kecenderungan penyimpangan tersebut sebagai sebuah bentuk abnormalitas, yang padahal merupakan wawasan yang sangat penting bagi masyarakat.

Kesimpulan: Horrography dan Kekerasan Terhadap Perempuan

AnalisIs mengenai pemberitaan mengenai kasus kekerasan dan perkosaan terhadap perempuan pada tujuh media surat kabar di Sumatera memperlihatkan, bahwa di dalamnya terjadi berbagai bentuk kekerasan lebih lanjut terhadap perempuan sebagai korban, khususnya berbagai bentuk kekerasan simbolik, yaitu berupa pemaksaan metafora, metonymy, eufemisme, stigmatisasi, disfemisme, hiperbola, seperti yang telah diungkapkan dalam penelitian Pemilianna dan kawan-kawan.
Kekerasan simbolik terhadap perempuan di dalam media pemberitaan tidak dapat dipisahkan, dan merupakan efek langsung, dari kekerasan yang dilakukan (oleh penulis) terhadap bahasa itu sendiri, khususnya berupa ‘pemerkosaan bahasa’. Pemerkosaan bahasa adalah pemilihan kata-kata (diksi) serta penggunaan cara-cara pengungkapan seperti metafora, metonymy, atau eufemisme dengan cara yang dangkal atau menyimpang (deviance), sebagaimana yang dikatakan Ricoeur, sehingga menciptakan ‘kegelapan semantik’ atau ‘ketidakpastian makna’.
Berbagai bentuk kekerasan bahasa tersebut menemukan tempatnya di dalam ‘ruang-ruang bahasa’ itu sendiri, terutama di dalam apa yang disebut pornografi, pornokitsch, sexual fetishism, eufemisme simbolik dan voyerisme. Di dalam ‘ruang’ruang bahasa’ itulah berbagai bentuk pemaksaan, perkosaan, vulgaritas dan kedangkalan bahasa berlangsung, yang memperkuat efek kekerasan simbolik terhadap perempuan yang digambarkan di dalamnya semakin hebat dan menakutkan—gender horrography.

Catatan
Makalah disampaikan pada Seminar “Jurnalisme Ramah Gender: Perspektif Gender Dalam Pemberitaan Pers”, diselenggarakan oleh Yayasan Kajian Informasi Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS) dan Aceh Press Club (APC), Hotel Sultan, Banda Aceh, Selasa, 26 Februari 2002.

Yasraf A Pilliang adalah Staf Pengajar pada Program Magister Seni dan Desain, FSRD, Institut Teknologi Bandung.

DAFTAR PUSTAKA

1) Lihat Roland Barthes, Image: Music:Text, Fontana Press, London, 1990.
2) John Fiske, Introduction to Communication Studies, Routledge, London, 1991, hlm. 167.
Untuk melihat lebih jauh mengenai tipologi atau model-model gender ini lihat Karen Sainsbury, Gender, Ideology and Aesthetics, tesis Master Degree belum diterbitkan, Central Saint Martins College of Art and Design, London, 1993
3) Lihat Louis Althusser, Essays on Ideology, Verso Press, London, 1971.
Gunther Kress, ‘Linguistic and Ideological Transformations in News Reporting’, dalam Howard davis & Paul Walton, Language, Image, Media, Basil Blackwell, Oxford, 1993, hlm. 120-138.
4) Nicos Hadjinicolaou, Art History and Class Struggle, Verso, London, 1973, hlm. 95.
5) John Gunn, Violence in Human Society, David & Charles, 1973
6) R. Valentina, ‘Kekerasan Terhadap Perempuan: Catatan Awal Tahun’, Pikiran Rakyat, Bandung.
7) lihat Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, Cambridge University Press, 1990.
Lihat juga John B. Thompson, Studies in the Theory of Ideology, Polity Press, 1984, hlm. 42.
8) John B. Thompson, Studies in the Theory of Ideology, hlm.46.
9) Ibid., hlm. 64
10) Ibid., hlm. 67.
11) Ibid., hlm. 59.
12) Sebagaimaan diacu di dalam Akbar S. Ahmed, Posmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam, Penerbit Mizan, Bandung, 1993, hlm. 230.
13) Paul Ricoeur, ‘The Metaphorical Process as Cognition, Imagination and Feeling’, dalam Sheldon Sacks, On Metaphor, The University of Chicago Press, 1994, hlm. 144.
14) Lihat hasil penelitian Pemilianna Pardede, Lisnawati, Diana Irene, ‘Kecenderungan Pemberitaan Kasus Kekerasan Terhadap perempuan pada tujuh Surat Kabar Sumatera dan Framing Kasus Perkosaan Terhadap Lj di Stadion Teladan, Medan”, KIPPAS, Medan 2002
15) Semua sumber data kutipan dari tujuh surat kabar Sumatera dikutip kembali dari laporan peneltian Pemilianna dkk. Lihat Ibid.
16) Alan Bullock, The Fontana Dictionary of Modern Thought, Fontana Press, 1988, hlm. 668.
17) Sebagaimana dituliskan kembali olrh Mark Bracher, Lacan, Discourse , and Social Change, Cornell University Press, Itacha, 1993, hlm. 84.
18) Ibid, hlm. 83.
19) Untuk mengetahui secara lebih mendalam mengenai konsep ‘ekonomisasi libido’, khususnya peran perempuan di dalamnya, lihat J.F. Lyotard, Economy Libidinale, Athlone Press, New York, 1994.
20) Untuk mengetahui lebih jauh mengenai ‘eskes-ekses’ dalam eksploitasi tubuh perempuan serta ketelanjangan, lihat Jean Baudrillard, Fatal Strategy, Pluto Press, 1993.
21) Jean Baudrillard, ‘Mass Media Culture’, dalam Revenge of the Crystal, Pluto Press, 1990, hlm. 75.
22) Umberto Eco, ‘The Structure of Bad taste’, dalam The Open Work, Hutchinson Radius, 1989, hlm.185.
23) Lihat Sut Jhally, The Code of Advertisement, Routledge, 1990.
24) Lihat Sut Jhally, Stephen Kline dan William Leiss, ‘Magic in the Marketplace: An Empirical Test for Commodity Fetishism’, Canadian Journal of Political and Social Theory, Vol.IX, No. 3, 1985.
25) Lihat Sigmund Freud, ‘On Fetishism’, dalam Three Essays on Sexuality, Penguin, 1974.
26) Lorraine Gelsthrope, Sexism and the Female Offender: An Organizational Analysis, Ashgate, 1989, hlm. 112.
27) Ibid. hlm. 143.
28) Toril Moi, Sexual Textual Practice, Methuen, 1985, hlm. 157.
29) Laura Mulvey, ‘Visual Pleasure and Narrative Cinema’, paper, French Department of University of Wisconsin, Madison, 1973.

One thought on ““Gender Horrography”: Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Pemberitaan Pers

Leave a comment